PENDAHULUAN
latar
belakang
dalam
hal ini sastra bali merupakan bahasa daerah di indonesia yang memiliki nilai-nilai
religius yang sangat kental. Dan juga dapat dikatakan bahasa bali berdasarkan
penuturnya (masyarakat bali) berkedudukan sebagai bahasa ibu. Dalam kaitannya denganbahasa ibu, bahasa bali
memiliki peranan sebagai alat komunikasi dalam berbagi kehidupan baik dalam
situasi resmi maupun dalm berapa aspek sejara situasi tidak resmi.
Dalam
perkembangannya keberadaan bahasa bali memiliki beberapa fariasi. Variasi
tersebut terlihat bila di pandang berdasarkan dimensi sosial, dimensi
temporal, dimensi regional.
Berdasarkan demensi sosial nya dalam bahasa bali ada anggah-ungguhing bahasa bali, dan ada bahasa bali baku dan bahasa
bali tidak baku. Berdasarkan dimensi temporer nya ada bahasa bli kuna dan ada bahasa bali kepara. Bardasarkan
demensi regional ada bahasa bali dialek
bali aga dan dialek datarn.sara
Bebearapa
aspek kajian tentag bahasa bali yang di uraikan dalam paper ini ntara lain: kajian pasang aksara purwadresta
dan kajian pasang aksara schwartz.
Dalam uraian paper ini didisebutkan kajian pasang aksara purwadresta yang
sering di identifikasikan sebagai pasang aksara bali yang di terapkan atau
digunakan pada naskah lontar terdahulu. Dalam perkembangannya sejak zaman
pemerintahan Dhamawangsa pada abad ke X sampai pada zaman Gelgel di bali pada
abad ke XV. Kajian pasang aksara schwartz maksudnya adalah kajian kajian yang
dilakukan oleh H.J.E.P Schwartz
tentang pasang aksara bali yang di tuangkan dalam buku yang berjudul Oeger-oeger aksara saha pasang sasoeratan
bahasa bali kepara, 1921.
ISI
Pengkajian
pasang aksara bali (bali2). Para ahli lokal, maupu oleh para peneliti luar.
Uraian tentang kajian pasang aksara bali adalah merupakan salah stu jangkauan
materi sejarah kajian bahasa bali.
Adapun
uraian sejrah kajian pasang aksara bali, di bagi menadi tujuh yaitu:
1.
kajian
pasang aksara bali purwa dresta
2.
kajian
pasang aksara bali schwartz
3.
kaian
pasang akara bali 1957
4.
kajian
pasang aksara bali 1963
5.
pasang
aksara bali dlam parbandingan
6.
kajian
pasang aksara bali 1997
7.
kajian
pasang aksara bali latin
Yang
di bahas dalam paper ini adalah ulasan tentang kajian pasang aksara bali
purwadresta dan kajian pasang aksara bali schwartz
1. kajian
pasang aksara bali purwa dresta
pasang
aksara purwadresta sebagai kebiasan menulis aksara bali jaman dahulu, yang
mengawali penuisan aksara bali. Dalam pengembangannya sejak jaman pemerintahan
dharmawangsa pada abad ke X sampai pada zaman gel-gel di bali pada abad ke XV,
telah banyak mengalami perubahan. 1957 : 17 hukum-hukum pasang aksara
purwadresta yang memadai memang belum pernah di temukan sampai saat ini,
sehingga pasang aksara purwadresta diidentikkan dengan pasang aksara bali yang
di terapkan pada naskah lontar pada jaman tersebut. Secara umum dapat dikatakan
bahwa pasang aksara purwadresta dalam penulisanya menerapakan:
a)
aksara
wreastra dan aksara swalelita
b)
rangkapan
aksara wianjana sesuai dengan daerah akulasi
c)
pasang
pageh dan pada-padaning suara bina arti
d)
bentuk
penulisan jajar sambung (suasta, 1995 : 3)
ketentuan-ketentuan
inilah dapat dianggap memiliki kecenderungan sebagai suatu ciri-ciri pokok yang
di terapkan dalam sistem pasang aksara purwadrasta
1.
pengangge
suara
Pengangge suara di gunakan
untuk menandakan bunyi fokal yang di gunakan untuk menandakan bunyi fokal yang
menyertai aksara wianjana atau konsonan yang ada. Adapu penulisan pengangge
suara menurut kedudukan/posisi penulisannya.
a.
(tedong)
Dalam penulisannya tedong ditulis
secara melekat pada aksaranya. Namun pada aksara NGA,JA,NYA,BA. Penulisan
tedong tidak melekat, karena apabila dilekatkan bentuk aksaranya menjadi kurang
praktis
b. (ulusari)
Secara umum penggunaan ulusari untuk
penulisan wanita utama
Contoh:
nama dewi sri, gelar dewa wanita, gelar widyadara wanita.
c. (suku ilut/kered)
Secara
umum penggunaan suku ilut ditemukan sebagai berikut:
· Suatu kata yang penulisannya
diawali dengan huruf “U” mendapatkan awalan dan menggunakan ““PA”, “MA”, “KA”
maka penulisan “U” menjadi suku ilut
· Suatu kata yang suku pertamanya
mendapat “U” dan menggunakan “SURANG” maka penulisan sukunya menjadi suku ilut.
d. (taleng merepa)
Tleng
merepa juga disebut taleng sari, yang penggunaanya apabila suatu kata diawali
dengan vokal “E” dan mendapat awalan “KA”,”SA”,MA”
e. (taleng merepe tedong)
Taleng
marepe matedong maksudnya adalah suatu penulisan aksara bali yang menggunakan
atau mendapatkan taleng merepa dan juga mendapatkan tedong dalam suatu
aksara.adapun pemakaiannya dalam satu kata tidak banyak ditemukan
Contoh:
gaurawa,kaurawa
f. (pepet metedong)
Pepet
metedong maksudnya adalah suatu kata dalam penulisan aksara balinya mendapat pengangge
suara pepet dan tedong dalam satu aksara. Adapun pepet metedong ini digunakan
apabila suat kata diawali dengan vokal “E”, awalan “PA”
2.
Pengangge
ardasuara
Pengagge ardasuara maksudnya adalah
pengangge yang berasal dari aksara ardasuara. Yaitu : Guung, Suku kembung,
Nanania, Gantungan LA
a.
Guung
dan Guung macelek
Guwung dan Guung macelek memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan
gantungan ra dan ra
Contoh ; jantra, cakra, sregep
b.
Suku
Kembung
Suku kembung memiliki fungsi untuk
melambangkan penulisan gantungan UA dan WA
Contoh : kuasa, Buaya, Don waru
c.
Nania
Nania memiliki fungsi untuk
melambangkan penulisan gantungan YA
Contoh : sadia, Bagia, Kakia
d.
Gantungan
LA
Gantungan la memiliki fungsi untuk
melambangkan penulisan gantungan LA pada kluster 1
Contoh : tamblang, Blau
3.
Pengangge
Tegenan
Pengangge tengenan maksudnya
adalah pengangge yang berasal dari tengnan wianjana , yaitu Cecek, Bisah,
Surang, adeg-adeg.
a.
Cecek
Pengangge tengenan CECEK berasal dari
tengenan NG. Pada kata-kata yang suku katanya berbeda warga, baik yang terdiri
atas dua suku maupun tiga suku. Dan suku ke dua atau ke tiga dari akhir kata
mendapatkan tengenan NG maka tidak diganti dengen cecek.
b.
Bisah
Bisah berasal dari tengenan wisarga,
bila suku katanya berbeda warga, baik yang terdiri atas dua suku maupun tiga
suku, dan suku ke dua ke tiga akhir kata mendapat tengenan wisarga
Contoh : cihna, Brahmana
c.
Surang
Pengangge tengenan surang erasal dari
tengenan R,
Contoh : damar, Bunter, Galar, Lancar
d.
Adeg-adeg
Adeg-adeg memiliki fungsi mengganti
tengenan wianjana lainnya, juga dipakai untuk menghindari aksara susun tiga
Contoh : tamblang
4.
Rangkapan
wianjana
Rangkapan wianjana maksudnya
adalah rangkapan aksara wianjana dengan bentuk gantungan dan gempelan. Adapun
pemakaiannya sebagai berikut:
a.
Rangkap
warga talawis
Aksara warga talawis meliputi: ca, cha,
ja, jha, nya, ya, sa.
b.
Rangkapan
warga murdania
Aksara warga mudania meliputi: ta, tha,
da, dha, na, la, sa.
c.
Angkapan
warga dantis
Aksara warga dantis meliputi: ta, tha,
da, dha, na, la, sa.
d.
Rangkapan
warga osthia
Aksara warga osthia meliputi:pa, pha,
ba, bha, ma, wa
e.
Disamping
rangkapan aksara di atas juga ditemukan rangkapan aksara yang tidak mengikuti aturan warga aksara, yaitu
rangkapaN Ksa, dan rangkapan Spa. Aksara ka adalah warga kantia, sedang sa
adalah warga murdania. Pada rangkapan spa, sa adalah warga dantia, sedangkan pa
warga ostia. Hal ini dapat dipahami karena aksara osma memang tidak ditemukan
pada warga kantia dan juga tidak ditemukan pada warga ostiabisa dilihat dari
beberapa contoh berikut: paksa, Ngaksi, Suksma.
5.
Kata-kata
yang diawali dengan aksara wianjana: ba, Da, Ja, Ga, apabila mendapatkan
anusuara maka masing-masing bentuknya menjadi: mba, Nda, Nyja, Ngga
6.
Perulangan
dwipurwa ditulis dengan aksara legna/legena
Contoh
: sesate, lelima, jejaitan,
7.
Kata
yang diawali dengan aksara yang mendapat pepet, yang diikuti oleh aksara
wianjana lainnya, kecuali aksara NG mendahului NA, maka aksara yang mengikuti
menjadi gantungan atau gempelan, dengan menghilangkan bunyi pepetnya.
8.
Penulisan
ardasuara
Berdasarkan fungsinya aksara
ardasuara ada empat yaitu: Ya, Ra, La, Wa.
·
Ardasuara
sebagai konsonan
Contoh : wayah, rame, layu
·
Ardasuara
sebagai fokal
Conth
: satia, karana, klabang, satua
Adapun
aturan penulisan aksara ardasuara adalah sebagai berikut:
a.
Kata-kata yang suku pertama mendapat /diikuti
bunyi WA, maka WA menjadi suku kembung, kena hukum satu suku.
b.
Kata
yang diawali dengan aksara ardasuara mendapat anusuara NGA, maka ardasuara
menjadi pengangge ardasuara.
9.
Aksara
Maduita
Aksara maduita maksudnya adalah
aksara wianjana yang ditulis rangkap. Aksara maduita yang disebabkan oleh
perubahan akar kata.
Contoh : WRT menjadi WRTTA =berita
SID menjadi SIDDHA
=bisa
CIT menjadi CITTA = pikiran
BUD menjadi BUDDHA
=buda
10. Tengenan mejalan
Tengenan mejalan maksudnya adalah kata
yang berakhir dengan konsonan diikuti oleh kata yang diawali oleh konsonan yang
samam, maka disebut tengenan mejalan.
2.
Kajian pasang aksara bali
schwartz
Kajian pasang aksara bali Schwartz
maksudnya adalah kajian-kajian yang dlakukan oleh H.J.E.F Schwartrz tentag pasang aksara bali yang di
tuangkan dalam buku yang bsrjudul Oeger-oeger aksara saha pasang sasoeratan
basa bali kepara, 1921, yag diresmikan pemakaiannya dengan no beslit 7014/D
tanggal 24 februari 1931
Kehadiran pasang aksara bali schwartz dalam
sistem penulisan aksara bali, memang membawa perubahan dalam pasang aksara bali
purwadresta sebelumnya. Hal ini pula yang menyebabkan sistem penulisan bahasa
bali dengan aksara bali menjadi rancu, kerancuan ini tampak dari sikap
masyarakat yang sebagian dapat menerima pasang aksara schwartz, dan sebagian
lagi ada yang tidak menerima. Sehingga dalam penulisan bahasa bali dengan
aksara bali pada saat itu ada dua macam yaitu mengikuti pasang aksara bali
schwartz dan tetap menerapkan pasang aksara bali purwadresta. Sesungguhnya
perbedaan itu wajar-wajar saja karena kehadiran ejan schwartz memang memiliki
sasaran menyederhanakan pasang aksara bali, halini dapat di ketahui dari
sistem-sistem penulisan yang sangat sederhana sekali, yag hanya menggunakan
aksara wreastra dan bentuk gantungan, gempelan untukpenulisan aksara bali.
Demikian juga aksara suaranya hanya menggunakan aksara wisarga dengan
penganggenya, sedangkan sebagai aksara murdania osma anusuara maha prana yang
termasuk aksara swalelita tidak digunakan oles schwartz kecuali gempelan
sesapa,
Beberapa contoh ejaan schwartz,
sebagai berikut
a.
Aksara
suara
b.
Tengenan
c.
Rangkapan
wianjana
d.
Semi
vokal(ardasuara)
e.
Maduita
f.
Diwipurwa
Uraian di atas menunjukan bahwa ejaan
schwartz tidak sejalan dengan tujuan ejaan purwadresta, yang memiliki tujuan
mewarisi nilai-nilai budaya. Namun dalam hal pengembangan ejaan schwartz dapat
dikatakan memiliki adil pada masa mendatang.
Kesimpulan
Kajian Pasang aksara purwa dresta
adalah kebiasaan menulis aksara bali zaman dulu, yang mengawali penulisan
bahasa bali, sehingga pasang aksara purwa dresta di identikkan dengan pasang
aksara bali yang diterapkan pada naskah lontar pada zaman tersebut,,
Sedangkan kajian pasang aksara
squartz kajian yang memiliki sasaran menyederhanakan pasang aksara bali, hal
ini dapat di ketahui dari sistem-sistem penulisannya yang sangat sederhana
sekali..
Penulis: I Wayan Mardiana
Penulis: I Wayan Mardiana