Pages

Sinampura yening kawentenan iwang, ngiring tureksan lan melajah sareng-sareng

Tuesday, 27 November 2012

SEJARAH BASA BALI



 PENDAHULUAN
     
latar belakang
dalam hal ini sastra bali merupakan bahasa daerah di indonesia yang memiliki nilai-nilai religius yang sangat kental. Dan juga dapat dikatakan bahasa bali berdasarkan penuturnya (masyarakat bali) berkedudukan sebagai bahasa ibu. Dalam kaitannya denganbahasa ibu, bahasa bali memiliki peranan sebagai alat komunikasi dalam berbagi kehidupan baik dalam situasi resmi maupun dalm berapa aspek sejara situasi tidak resmi.
Dalam perkembangannya keberadaan bahasa bali memiliki beberapa fariasi. Variasi tersebut terlihat bila di pandang berdasarkan dimensi sosial, dimensi temporal, dimensi regional. Berdasarkan demensi sosial nya dalam bahasa bali ada anggah-ungguhing bahasa bali, dan ada bahasa bali baku dan bahasa bali tidak baku. Berdasarkan dimensi temporer nya ada bahasa bli kuna dan ada bahasa bali kepara. Bardasarkan demensi regional ada bahasa bali dialek bali aga dan dialek datarn.sara
Bebearapa aspek kajian tentag bahasa bali yang di uraikan dalam paper ini ntara lain: kajian pasang aksara purwadresta dan kajian pasang aksara schwartz. Dalam uraian paper ini didisebutkan kajian pasang aksara purwadresta yang sering di identifikasikan sebagai pasang aksara bali yang di terapkan atau digunakan pada naskah lontar terdahulu. Dalam perkembangannya sejak zaman pemerintahan Dhamawangsa pada abad ke X sampai pada zaman Gelgel di bali pada abad ke XV. Kajian pasang aksara schwartz maksudnya adalah kajian kajian yang dilakukan oleh H.J.E.P Schwartz tentang pasang aksara bali yang di tuangkan dalam buku yang berjudul Oeger-oeger aksara saha pasang sasoeratan bahasa bali kepara, 1921.



 ISI


Pengkajian pasang aksara bali (bali2). Para ahli lokal, maupu oleh para peneliti luar. Uraian tentang kajian pasang aksara bali adalah merupakan salah stu jangkauan materi sejarah kajian bahasa bali.
Adapun uraian sejrah kajian pasang aksara bali, di bagi menadi tujuh yaitu:
1.      kajian pasang aksara bali purwa dresta
2.      kajian pasang aksara bali schwartz
3.      kaian pasang akara bali 1957
4.      kajian pasang aksara bali 1963
5.      pasang aksara bali dlam parbandingan
6.      kajian pasang aksara bali 1997
7.      kajian pasang aksara bali latin

Yang di bahas dalam paper ini adalah ulasan tentang kajian pasang aksara bali purwadresta dan kajian pasang aksara bali schwartz

1.      kajian pasang aksara bali purwa dresta

pasang aksara purwadresta sebagai kebiasan menulis aksara bali jaman dahulu, yang mengawali penuisan aksara bali. Dalam pengembangannya sejak jaman pemerintahan dharmawangsa pada abad ke X sampai pada zaman gel-gel di bali pada abad ke XV, telah banyak mengalami perubahan. 1957 : 17 hukum-hukum pasang aksara purwadresta yang memadai memang belum pernah di temukan sampai saat ini, sehingga pasang aksara purwadresta diidentikkan dengan pasang aksara bali yang di terapkan pada naskah lontar pada jaman tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pasang aksara purwadresta dalam penulisanya menerapakan:
a)      aksara wreastra dan aksara swalelita
b)      rangkapan aksara wianjana sesuai dengan daerah akulasi
c)      pasang pageh dan pada-padaning suara bina arti
d)      bentuk penulisan jajar sambung (suasta, 1995 : 3)
ketentuan-ketentuan inilah dapat dianggap memiliki kecenderungan sebagai suatu ciri-ciri pokok yang di terapkan dalam sistem pasang aksara purwadrasta

1.      pengangge suara
                 Pengangge suara di gunakan untuk menandakan bunyi fokal yang di gunakan untuk menandakan bunyi fokal yang menyertai aksara wianjana atau konsonan yang ada. Adapu penulisan pengangge suara menurut kedudukan/posisi penulisannya.
a.       (tedong)
          Dalam penulisannya tedong ditulis secara melekat pada aksaranya. Namun pada aksara NGA,JA,NYA,BA. Penulisan tedong tidak melekat, karena apabila dilekatkan bentuk aksaranya menjadi kurang praktis
b.      (ulusari)
        Secara umum penggunaan ulusari untuk penulisan wanita utama
Contoh: nama dewi sri, gelar dewa wanita, gelar widyadara wanita.
c.       (suku ilut/kered)
        Secara umum penggunaan suku ilut ditemukan sebagai berikut:
· Suatu kata yang penulisannya diawali dengan huruf “U” mendapatkan awalan dan menggunakan ““PA”, “MA”, “KA” maka penulisan “U” menjadi suku ilut
· Suatu kata yang suku pertamanya mendapat “U” dan menggunakan “SURANG” maka penulisan sukunya menjadi suku ilut.
d.      (taleng merepa)
        Tleng merepa juga disebut taleng sari, yang penggunaanya apabila suatu kata diawali dengan vokal “E” dan mendapat awalan “KA”,”SA”,MA”
e.       (taleng merepe tedong)
        Taleng marepe matedong maksudnya adalah suatu penulisan aksara bali yang menggunakan atau mendapatkan taleng merepa dan juga mendapatkan tedong dalam suatu aksara.adapun pemakaiannya dalam satu kata tidak banyak ditemukan
              Contoh: gaurawa,kaurawa
f.       (pepet metedong)
        Pepet metedong maksudnya adalah suatu kata dalam penulisan aksara balinya mendapat pengangge suara pepet dan tedong dalam satu aksara. Adapun pepet metedong ini digunakan apabila suat kata diawali dengan vokal “E”, awalan “PA”

2.      Pengangge ardasuara
        Pengagge ardasuara maksudnya adalah pengangge yang berasal dari aksara ardasuara. Yaitu : Guung, Suku kembung, Nanania, Gantungan LA
a.       Guung dan Guung macelek
         Guwung dan Guung macelek  memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan gantungan ra dan ra
         Contoh ; jantra, cakra, sregep
b.      Suku Kembung
         Suku kembung memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan gantungan UA dan WA
         Contoh : kuasa, Buaya, Don waru
c.       Nania
         Nania memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan gantungan YA
         Contoh : sadia, Bagia, Kakia
d.      Gantungan LA
         Gantungan la memiliki fungsi untuk melambangkan penulisan gantungan LA pada kluster 1
         Contoh : tamblang, Blau

3.      Pengangge Tegenan
               Pengangge tengenan maksudnya adalah pengangge yang berasal dari tengnan wianjana , yaitu Cecek, Bisah, Surang, adeg-adeg.
a.       Cecek
         Pengangge tengenan CECEK berasal dari tengenan NG. Pada kata-kata yang suku katanya berbeda warga, baik yang terdiri atas dua suku maupun tiga suku. Dan suku ke dua atau ke tiga dari akhir kata mendapatkan tengenan NG maka tidak diganti dengen cecek.
b.      Bisah
         Bisah berasal dari tengenan wisarga, bila suku katanya berbeda warga, baik yang terdiri atas dua suku maupun tiga suku, dan suku ke dua ke tiga akhir kata mendapat tengenan wisarga
         Contoh : cihna, Brahmana
c.       Surang
         Pengangge tengenan surang erasal dari tengenan R,
         Contoh : damar, Bunter, Galar, Lancar
d.      Adeg-adeg
         Adeg-adeg memiliki fungsi mengganti tengenan wianjana lainnya, juga dipakai untuk menghindari aksara susun tiga
         Contoh : tamblang

4.      Rangkapan wianjana
               Rangkapan wianjana maksudnya adalah rangkapan aksara wianjana dengan bentuk gantungan dan gempelan. Adapun pemakaiannya sebagai berikut:
a.       Rangkap warga talawis
         Aksara warga talawis meliputi: ca, cha, ja, jha, nya, ya, sa.
b.      Rangkapan warga murdania
         Aksara warga mudania meliputi: ta, tha, da, dha, na, la, sa.
c.       Angkapan warga dantis
         Aksara warga dantis meliputi: ta, tha, da, dha, na, la, sa.
d.      Rangkapan warga osthia
         Aksara warga osthia meliputi:pa, pha, ba, bha, ma, wa
e.       Disamping rangkapan aksara di atas juga ditemukan rangkapan aksara yang tidak        mengikuti aturan warga aksara, yaitu rangkapaN Ksa, dan rangkapan Spa. Aksara ka adalah warga kantia, sedang sa adalah warga murdania. Pada rangkapan spa, sa adalah warga dantia, sedangkan pa warga ostia. Hal ini dapat dipahami karena aksara osma memang tidak ditemukan pada warga kantia dan juga tidak ditemukan pada warga ostiabisa dilihat dari beberapa contoh berikut: paksa, Ngaksi, Suksma.

5.      Kata-kata yang diawali dengan aksara wianjana: ba, Da, Ja, Ga, apabila mendapatkan anusuara maka masing-masing bentuknya menjadi: mba, Nda, Nyja, Ngga
6.      Perulangan dwipurwa ditulis dengan aksara legna/legena
Contoh : sesate, lelima, jejaitan,
7.      Kata yang diawali dengan aksara yang mendapat pepet, yang diikuti oleh aksara wianjana lainnya, kecuali aksara NG mendahului NA, maka aksara yang mengikuti menjadi gantungan atau gempelan, dengan menghilangkan bunyi pepetnya.
8.      Penulisan ardasuara
               Berdasarkan fungsinya aksara ardasuara ada empat yaitu: Ya, Ra, La, Wa.
·         Ardasuara sebagai konsonan
Contoh : wayah, rame, layu
·         Ardasuara sebagai fokal
Conth : satia, karana, klabang, satua

Adapun aturan penulisan aksara ardasuara adalah sebagai berikut:
a.        Kata-kata yang suku pertama mendapat /diikuti bunyi WA, maka WA menjadi suku kembung, kena hukum satu suku.
b.      Kata yang diawali dengan aksara ardasuara mendapat anusuara NGA, maka ardasuara menjadi pengangge ardasuara.


9.      Aksara Maduita
              Aksara maduita maksudnya adalah aksara wianjana yang ditulis rangkap. Aksara maduita yang disebabkan oleh perubahan akar kata.
              Contoh : WRT menjadi WRTTA =berita
                             SID menjadi SIDDHA =bisa
                             CIT  menjadi CITTA = pikiran
                             BUD menjadi BUDDHA =buda
10.  Tengenan mejalan
        Tengenan mejalan maksudnya adalah kata yang berakhir dengan konsonan diikuti oleh kata yang diawali oleh konsonan yang samam, maka disebut tengenan mejalan.


2.      Kajian pasang aksara bali schwartz

             Kajian pasang aksara bali Schwartz maksudnya adalah kajian-kajian yang dlakukan oleh H.J.E.F  Schwartrz tentag pasang aksara bali yang di tuangkan dalam buku yang bsrjudul Oeger-oeger aksara saha pasang sasoeratan basa bali kepara, 1921, yag diresmikan pemakaiannya dengan no beslit 7014/D tanggal 24 februari 1931
              Kehadiran pasang aksara bali schwartz dalam sistem penulisan aksara bali, memang membawa perubahan dalam pasang aksara bali purwadresta sebelumnya. Hal ini pula yang menyebabkan sistem penulisan bahasa bali dengan aksara bali menjadi rancu, kerancuan ini tampak dari sikap masyarakat yang sebagian dapat menerima pasang aksara schwartz, dan sebagian lagi ada yang tidak menerima. Sehingga dalam penulisan bahasa bali dengan aksara bali pada saat itu ada dua macam yaitu mengikuti pasang aksara bali schwartz dan tetap menerapkan pasang aksara bali purwadresta. Sesungguhnya perbedaan itu wajar-wajar saja karena kehadiran ejan schwartz memang memiliki sasaran menyederhanakan pasang aksara bali, halini dapat di ketahui dari sistem-sistem penulisan yang sangat sederhana sekali, yag hanya menggunakan aksara wreastra dan bentuk gantungan, gempelan untukpenulisan aksara bali. Demikian juga aksara suaranya hanya menggunakan aksara wisarga dengan penganggenya, sedangkan sebagai aksara murdania osma anusuara maha prana yang termasuk aksara swalelita tidak digunakan oles schwartz kecuali gempelan sesapa,
             Beberapa contoh ejaan schwartz, sebagai berikut
a.       Aksara suara
b.      Tengenan
c.       Rangkapan wianjana
d.      Semi vokal(ardasuara)
e.       Maduita
f.       Diwipurwa
       Uraian di atas menunjukan bahwa ejaan schwartz tidak sejalan dengan tujuan ejaan purwadresta, yang memiliki tujuan mewarisi nilai-nilai budaya. Namun dalam hal pengembangan ejaan schwartz dapat dikatakan memiliki adil pada masa mendatang.


Kesimpulan

Kajian Pasang aksara purwa dresta adalah kebiasaan menulis aksara bali zaman dulu, yang mengawali penulisan bahasa bali, sehingga pasang aksara purwa dresta di identikkan dengan pasang aksara bali yang diterapkan pada naskah lontar pada zaman tersebut,,
Sedangkan kajian pasang aksara squartz kajian yang memiliki sasaran menyederhanakan pasang aksara bali, hal ini dapat di ketahui dari sistem-sistem penulisannya yang sangat sederhana sekali..

Penulis: I Wayan Mardiana

1 comment:

  1. Terima kasih telah memposting tentang seluk beluk bahasa Bali. Sangat berguna sekali bagi generasi selanjutnya. Mohon ijin untuk copy paste.. Suksma

    ReplyDelete

Entri Populer